Tanggal 25 Oktober 2015 kemarin, saya berkesempatan menonton pementasan sandiwara Betawi berjudul "Jawara! - Langgam Hati Dari Marunda" yang dipentaskan oleh Teater Abnon. Terus terang saya nonton bukan karena saya aktif di Abnon Selatan, tapi karena ada special mentioned dari Maudy Koesnaedi di akun Instagram @abnon.selatan ketika saya mencoba mengajarkan adik admin agar all out memberikan informasi.
Saya tidak ragu sedikitpun dengan kualitas adik-adik saya di Abnon Selatan untuk urusan pementasan, apapun bentuknya. Mereka memang sudah jago "dari sononye". Tapi memang mention-an itulah yang menggerakkan hati saya untuk menonton.
Karena no pics = hoax, dibawah ini bukti saya di-mention oleh Non Maudy :-)
"Semoga berkenan nonton adik2nya berkarya ya" - dengan emoticon senyum. Saya pun tersenyum membacanya.
Singkat cerita, setelah survive dari rongrongan mpok-mpok kurang pelesir yang meminta kami berhenti di Es Krim Ragusa di Jalan Veteran (dan berjanji sepulang dari pementasan akan makan di nasi Goreng Kambing Kebon Sirih), kami tiba di Schouwburg Weltevreden atau nama jaman sekarangnya Gedung Kesenian Jakarta. Lagi-lagi mpok kurang pelesir sudah mengisyaratkan dia mau beli Roti Lauw sebelum masuk ke dalam gedung pementasan. Setelah berfoto sebentar di photo backdrop (yang sampai sekarang materinya belum naik ke platform social media kami), kami masuk membeli "kupi dan ruti" (supaya mpok-mpok kurang pelesir tidak rewel) dan oleh Bang Fadil Juliansyah - seorang die hard cultural preservation warrior - kami diberi tempat duduk yang nyaman untuk menonton.
Kebetulan saya pernah satu produksi acara dengan Altajaru, sebuah kelompok musik akustik neo-etnik (apakah ada aliran neo-etnik? tidak tahu juga), jadi saat dari kejauhan saya lihat Altajaru yang akan mengiringi pementasan, dalam hati saya berujar "this is going to be awesome".
Karena saya sudah lumayan berumur, jadi saya hanya akan ceritakan yang saya ingat saja ya, sequence-nya pun saya lupa yang mana yang lebih dahulu #disclaimer.
Lampu black out. Standar buat saya yang juga ada di industri show management. Musik mulai main. Altajaru memang grup musik yang tidak standar, buat orang yang pertama kali mendengarnya, buat saya masih belum greget. It was grande enough untuk membuka acara, tapi begitu lah menurut saya, sedikit kurang greget.
Tirai dibuka dan terlihatlah si Mirah (peran utama wanitanya) didepan dupa dan perlahan-lahan lampu menerangi pemeran utama pementasan ini melakukan opening act atau opening tune atau apalah itu namanya. Magis!. Tata lampu, musik dan gerakan silat dari para pemeran utama berpadu sangat apik. Dari perspektif saya sebagai orang show management, opening ini ciamik karena dengan kesederhanaan set panggung (bukan sederhana sebenarnya, memang belum ada set yang masuk di panggung hehehe), mereka bisa me-manage opening ini jadi sesuatu yang menaikkan mood hanya dengan bermodalkan gerakan silat, buat saya yang kebetulan pernah merancang opening acara atau pementasan, this is nice. A very well designed opening.
Saya pikir openingnya hanya seperti itu. Tiba-tiba para pemeran utama ini silam kebelakang panggung dan digantikan banyak sekali pemeran lain, pemeran pembantaian (pembantu.red). Mereka melanjutkan opening act atau sequence atau apalah itu namanya. Terrific!. Koreografinya mak plung! (halah). Saya tahu Bang Atien Kisyam yang menjadi koreografer pementasan ini, kebetulan juga saya pernah satu produksi di Pemilihan Abang None Jakarta Selatan 2015 kemarin dengan beliau, dan seperti biasa, koreografi Bang Atien memang bisa memberikan kesan "luwes tapi tangguh". Non Vina Muliana dari kejauhan terlihat magistis (apakah ada kata magistis? tidak tahu juga). Saat menarikan jurus "uler mabok kecubung" (ini bukan nama gerakannya ya, hanya interpretasi saya sebagai penonton), ekspresi wajahnya dapet banget, hacep kalau kata anak muda jaman sekarang. Ditambah tata lampu sederhana tapi matched dengan warna wardrobe dan sapuan gerakan lampu yang saling mengisi ruang, plus suara tetabuhan, opening ini superb.
Total waktu opening ini lebih dari 5 menit, baru Neil Patrick Harris di opening Tony Award 2013 dengan durasi 8 menit yang pertama kali berhasil membuat saya stay tuned lebih dari 2 menit, opening Jawara adalah yang yang kedua, buat saya itu prestasi, tapi, aku mah apa atuh?.
Opening selesai, tirai diturunkan, masuklah Bang Jantuk, diperankan David Nurbianto, seorang komik dengan genre "Betawian". Bridging Bang Jantuk untuk menerangkan sosok seperti apakah "Jawara" cukup luwes disampaikan dengan humor yang sangat khas Betawi. Jika Anda perhatikan, anak Betawi itu ya seperti Bang Jantuk ini, bicara ceplas-ceplos, humoris, bercanda tiada habis.
Selesai Bang Jantuk, tirai dibuka dan set panggung sudah terlihat, mpok-mpok sebelah langsung berkata "Iiiih bagus bangeeeed". Mungkin karena dia bandar batik dan set panggungnya ada dinding yang tersampir kain batik. Buat saya setnya keren, sangat padu dengan tata lampu remang-remang.
Dua perampok masuk, dan scene perampok naik keatas meja smooth sekali, sudah seharusnya smooth karena sudah pementasan terakhir *nyengir*, dan oleh karena itulah saya pilih pementasan terakhir untuk ditonton, supaya greget. Masuklah keluarga Babah Yong dari belakang penonton. Saya selalu admire pementasan yang punya surprise element, dan surprise element ini saya suka sekali. Non Karina Ayudia memerankan Chuiffen dengan luwes, persis seperti kesehariannya yang (katanya) nagging bin menye-menye *pisss*. Keluarga Babah Yong juga diperankan sangat padu dan tidak dragging, adegan (ceritanya slo-mo) saat centeng dan perampok diatas meja jadi gimmick di scene ini. Saya suka pementasan dengan gimmick-gimmick yang membuat orang teringat akan sebuah scene. Genius!.
Masuklah ke scene perkenalan siapa si Tubagus Asni, yang diperankan oleh Bang Luffi Ardiansyah. Buat orang yang belum kenal Bang Upi, biasa kami panggil demikian, dia biasa saja jika memerankan sesuatu yang serius, Bang Upi ini istilah kata orang Betawi, lahirnya aja gak serius. Satu ketika saat pemilihan Ketua dan Sekjen Ikatan Abang None Jakarta Selatan, dia bertanya kepada saya, "Bang, saya pake kacamata ya biar keliatan pinter", waktu itu saya hanya jawab "Et dah tong". BTW, Bang Upi adalah Sekjen kami di Ikatan Abang None Jakarta Selatan mendampingi Bang Anom Adimasetio #SundulPromo1.
Setelah tahu siapa Tubagus Asni, siapa ibunya, siapa nama kambingnya lewat dialog, masuklah Meneer Ruys (kalau tidak salah), bersama dengan opas-nya bernama Habel. Bang Hendro Yudistira dan Bang Gyazi Sumawinata memerankannya juga dengan sangat mendalam, sampai kami yang kebetulan dekat dengan area mereka berperan ditengah penonton terkaget-kaget dengan teriakan mereka (ditambah suara mereka juga masuk ke sound system tentunya). Saya tidak tahu apa latar belakang sutradara atau casting director-nya memilih Bang Gyazi jadi opas yang berasal dari timur Indonesia, mungkin agar sesuai dengan karakter Bang Gyazi yang kalau lucu terlihat serius, kalau serius justru terlihat lucu #IMHO. Gimick scene ini ada dua menurut saya, ambeien Tuan Ruys sampai harus "ngengsot" duduknya dan Chuiffen kena berindilan t*i kambing.
Bang Urip, diperankan oleh Bang Ginanzar Dwiputro. Dari saya pertama kali kenal, saya tidak pernah lihat Bang Anjar ini tidak pakai pomade, bahkan saya menyangka kepalanya bisa mengeluarkan pomade alami, lebih lagi saya bahkan menganggap Bang Anjar adalah Bapak Pomade Indonesia #BHAY. Satu scene dengan Tuan Ruys dan Habel, saya bangga, anak Selatan dipercaya untuk main satu scene sama-sama!. Ini adalah bridging scene, dimana lucu menjadi mutlak dan mereka bertiga memainkannya dengan sangat baik. Di scene ini propertinya hanya ayam, ketika itu saya berpikir, itu ayam hidup atau boneka ayam? karena sama sekali tidak bersuara. Mungkin ayam itu stress karena dipegang oleh Bang Anjar yang kontur badannya six pack #SundulPromo2. Bang Anjar dan Bang Gyazi yang satu angkatan Abnon Selatan 2014, padu bercanda di scene ini. Amaizing #tukul.
Mpok Saroh yang diperankan Non Vina Muliana memulai scene-nya dengan ciamik, gerak-geriknya memerankan seorang wanita Betawi penjaga warung persis dengan kelebat flashback kenangan masa kecil saya sewaktu SD yang tinggal di Ciganjur tahun 80-an dan sering jajan di warung Mpok Encum yang berjualan lontong dan kerupuk coklat, Anda tentu pernah jajan lontong yang ditaruh diatas kerupuk persegi coklat dan disiram kuah kacang kan? jika tidak pernah, bolehlah sesekali berkunjung ke Ciganjur dan merasakan sensasi pecah dimulut ketika kerupuk, lontong dan kuah kacang bersinggungan dengan lidah #SundulPromo3.
Bang Bodong dan Mpok Saroh definitely the star of this scene. Ekspresi Mpok Saroh yang dengan sabar mengulang setiap jawaban yang tidak sempurna didengar Bang Bodong dipadu dengan suara biola menggantikan suaranya menjadi sangat lucu, sebuah pengejawantahan cerdas, tanpa bermaksud berlebihan. Asni yang bertemu Mirah di scene ini juga bisa mengeluarkan esensi seorang lelaki yang "ngebet".
Fast forward ke babakan "Ujungan".
Permainan silat dengan tongkat ciamik dibawakan setiap pemerannya, kembali Bang Urip Anjar saya lihat dengan flawless membawakan koreo perkelahian. Kamudian sosok Tirta yang bengis masuk scene, diperankan dengan sangat keren, lebih keren lagi koreonya bersama Mirah yang di-design dengan sangat bagus dan membuat figur Tirta seperti layaknya seorang bajingan. Yang terkeren, saat adegan Asni menahan tangan Tirta menggoda Mirah, dimana (menurut saya) saat semua mata sedang tertuju pada Tirta dan Mirah, efek "eng ing eng" nya pas, perfect.
Tutupan pementasan ini menurut saya pas, tidak berlebihan, tidak juga under expectation. Dialog Asni saat merangkul Tirta yang terbujur kaku saya rasa pas untuk menjadi penutup, namun saya sedikit agak bingung ketika Asni bertanya apakah Mirah mau membuatkan kopi tidak pakai tumpah sebagai interpretasi lamaran, tapi tetap saya beri acungan jempol untuk penulis naskah karena tidak berlebihan, bayangkan jika dialognya "mau gak bikinin abang kopi sekalian rebus luwak-nya".
Teater Abnon jangan disamakan dengan production company seperti teater koma, eksotika karmawibangga atau pementasan abhati yang memerlukan otak sedikit lebih berpikir, format Teater Abnon sudah sangat mengena dengan menampilkan cerita-cerita folklore (agak redundant ya "cerita" dan "folklore" digabung jadi satu).
Apresiasi saya hanya tertuju pada para pemain yang bukan berasal dari pemain teater profesional dan butuh waktu 8 bulan untuk berlatih tanpa tahu ada keuntungan apa diujung pementasan. Mereka adalah anak-anak muda yang berkeras melestarikan budaya tanpa ada pertanyaan "What's in it for me".
Tidak berlebihan jika kami berdiri bertepuk tangan melihat mereka ketika pementasan ini selesai. Buat saya yang kenal lumayan dekat dengan Non Karin, Non Vina, Bang Upi, Bang Anjar, Bang Gyazi dan Bang Yudi, totalitas dan pencapaian mereka di pementasan ini beyond remarkable, karena saya tahu apa yang mereka tempuh hanya untuk menjadi bagian dari pementasan ini.
Tidak lupa juga, ada Bang Ucup yang juga tanpa pamrih membantu pemasaran tiket, mereserve tempat untuk kami sampai kami duduk, serta Bang Bimo, Bang Ba'im, Non Ezzie dan Non Linda yang turun kelapangan membantu suksesnya acara ini.
Salam takzim bagi kalian semua yang tersebut dalam tulisan ini, dan kalian yang lupa saya sebutkan satu persatu. Tabik.
Tutupan pementasan ini menurut saya pas, tidak berlebihan, tidak juga under expectation. Dialog Asni saat merangkul Tirta yang terbujur kaku saya rasa pas untuk menjadi penutup, namun saya sedikit agak bingung ketika Asni bertanya apakah Mirah mau membuatkan kopi tidak pakai tumpah sebagai interpretasi lamaran, tapi tetap saya beri acungan jempol untuk penulis naskah karena tidak berlebihan, bayangkan jika dialognya "mau gak bikinin abang kopi sekalian rebus luwak-nya".
Teater Abnon jangan disamakan dengan production company seperti teater koma, eksotika karmawibangga atau pementasan abhati yang memerlukan otak sedikit lebih berpikir, format Teater Abnon sudah sangat mengena dengan menampilkan cerita-cerita folklore (agak redundant ya "cerita" dan "folklore" digabung jadi satu).
Apresiasi saya hanya tertuju pada para pemain yang bukan berasal dari pemain teater profesional dan butuh waktu 8 bulan untuk berlatih tanpa tahu ada keuntungan apa diujung pementasan. Mereka adalah anak-anak muda yang berkeras melestarikan budaya tanpa ada pertanyaan "What's in it for me".
Tidak berlebihan jika kami berdiri bertepuk tangan melihat mereka ketika pementasan ini selesai. Buat saya yang kenal lumayan dekat dengan Non Karin, Non Vina, Bang Upi, Bang Anjar, Bang Gyazi dan Bang Yudi, totalitas dan pencapaian mereka di pementasan ini beyond remarkable, karena saya tahu apa yang mereka tempuh hanya untuk menjadi bagian dari pementasan ini.
Tidak lupa juga, ada Bang Ucup yang juga tanpa pamrih membantu pemasaran tiket, mereserve tempat untuk kami sampai kami duduk, serta Bang Bimo, Bang Ba'im, Non Ezzie dan Non Linda yang turun kelapangan membantu suksesnya acara ini.
Salam takzim bagi kalian semua yang tersebut dalam tulisan ini, dan kalian yang lupa saya sebutkan satu persatu. Tabik.
No comments:
Post a Comment